Kamis, 22 Januari 2009

hakikat negara

PENGERTIAN DAN HAKIKAT BANGSA

Bangsa (nation) atau nasional, nasionalitas atau kebangsaan, nasionalisme atau paham kebangsaan, semua istilah tersebut dalam kajian sejarah terbukti mengandung konsep-konsep yang sulit dirumuskan, sehingga para pakar di bidang Politik, Sosiologi, dan Antropologi pun sering tidak sependapat mengenai makna istilah-istilah tersebut. Selain istilah bangsa, dalam bahasa Indonesia, kita juga menggunakan istilah nasional, nasionalisme yang diturunkan dari kata asing “nation” yang bersinonim dengan kata bangsa. Tidak ada rumusan ilmiah yang bisa dirancang untuk mendefinisikan istilah bangsa secara objektif, tetapi fenomena kebangsaan tetap aktual hingga saat ini.

Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie” dan “nation”, artinya masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang memiliki unsur sebagai berikut :

1. Satu kesatuan bahasa ;

2. Satu kesatuan daerah ;

3. Satu kesatuan ekonomi ;

4. Satu Kesatuan hubungan ekonomi ;

5. Satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.

Istilah natie (nation) mulai populer sekitar tahun 1835 dan sering diperdebatkan, dipertanyakan apakah yang dimaksud dengan bangsa?, sehingga melahirkan berbagai teori tentang bangsa sebagai berikut :

1. Teori Ernest Renan

Pembahasan mengenai pengertian bangsa dikemukakan pertama kali oleh Ernest Renan tanggal 11 Maret 1882, yang dimaksud dengan bangsa adalah jiwa, suatu asas kerohanian yang timbul dari : (1). Kemuliaan bersama di waktu lampau, yang merupakan aspek historis. (2). Keinginan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) diwaktu sekarang yang merupakan aspek solidaritas, dalam bentuk dan besarnya tetap mempergunakan warisan masa lampau, baik untuk kini dan yang akan datang.

Dasar dari suatu paham kebangsaan, yang menjadi bekal bagi berdirinya suatu bangsa, ialah suatu kejayaan bersama di zaman yang lampau dimilikinya orang-orang besar dan diperolehnya kemenangan-kemenangan, sebab penderitaan itu menimbulkan kewajiban-kewajiban, yang selanjutnya mendorong kearah adanya usaha bersama. Lebih lanjut Ernest Renan mengatakan bahwa hal penting merupakan syarat mutlak adanya bangsa adalah plebisit, yaitu suatu hal yang memerlukan persetujuan bersama pada waktu sekarang, yang mengandung hasrat untuk mau hidup bersama dengan kesediaan memberikan pengorbanan-pengorbanan. Bila warga bangsa bersedia memberikan pengorbanan bagi eksistensi bangsanya, maka bangsa tersebut tetap bersatu dalam kelangsungan hidupnya (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 82).

Titik pangkal dari teori Ernest Renan adalah pada kesadaran moral (conscience morale), teori ini dapat digolongkan pada Teori Kehendak, berbeda dengan teori kebudayaan (cultuurnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan: persamaan bahasa, agama, dan keturunan. Berbeda juga dengan teori kenegaraan (staatsnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa dan ras kebangsaan timbul karena persamaan negara.

Menurut teori Ernest Renan, jiwa, rasa, dan kehendak merupakan suatu faktor subjektif, tidak dapat diukur dengan faktor-faktor objektif. Faktor agama, bahasa, dan sejenisnya hanya dapat dianggap sebagai faktor pendorong dan bukan merupakan faktor pembentuk (consttuief element) dari bangsa. Karena merupakan plebisit yang diulangi terus-menerus, maka bangsa dan rasa kebangsaan tidak dapat dibatasi secara teritorial, sebab daerah suatu bangsa bukan merupakan sesuatu yang statis, tapi dapat berubah-ubah secara dinamis, sesuai dengan jalannya sejarah bangsa itu sendiri.

Teori Renan tentang nation (waktu itu masih digunakan kata bangsa) dianut dan secara langsung sebagai tokoh teori nasionalisme menegaskan suatu negara hanya ada karena adanya kemauan bersama. Kemauan bersama diperlukan supaya semua daerah dari satu negara akan mempunyai pengaruh dalam komunitas dunia.

Dari konsep nasionalisme Ernest Renan pada masa itu telah membangkitkan rasa nasionalisme kelompok mahasiswa dan cendekiawan-cendekiawan Indonesia pada tahun 1920-an seperti Perhimpunan Indonesia, Indonesische Studieclub, dan Algemeene Studieclub yang merupakan pembentuk dan penyebar nasionalisme Indonesia serta memberi orientasi bagi perjuangan bangsa terjajah di wilayah Hindia Belanda dalam rangka membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan Belanda, yang kemudian lazim disebut awal gerakan kebangkitan nasional.

Teori Renan mengatakan bahwa etniksitis tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme, jadi nasionalisme bisa jadi dalam suatu komunitas yang multi etnis, persatuan agama juga tidak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Persatuan bahasa mempermudah perkembangan nasionalisme tetapi tidak mutlak diperlukan untuk kebangkitan nasionalisme. Dalam hal nasionalisme, syarat yang mutlak dan utama adalah adanya kemauan dan tekad bersama. (Frank Dhont, 2005 : 8)

1. Teori Otto Bauer

Persoalan : was ist eine nation, dijawab oleh Otto Bauer adalah eine nation ist aus schicksalameinschaft erwachsene charaktergemeinschaft (suatu bangsa ialah suatu masyarakat ketertiban yang muncul dari masyarakat yang senasib) atau bangsa adalah suatu kesamaan perangai yang timbul karena senasib (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 83).

1. Teori Rudolf Kjellen

Rudolf Kjellen membuat suatu analogi/membandingkan bangsa dengan suatu organisme biotis dan menyamakan jiwa bangsa dengan nafsu hidup dari organisme termaksud. Suatu bangsa mempunyai dorongan kehendak untuk hidup, mempertahankan dirinya dan kehendak untuk berkuasa (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 84-85).

Suatu bangsa dianggap ada, apabila mulai sadar sebagai suatu bangsa jika para warganya bersumpah pada dirinya, seperti yang telah dilakukan oleh bangsa Swiss waktu mendirikan persekutuannya: wir wollen sein ein einzig volk von brudern (kita ingin menjadi satu rakyat yang bersaudara satu sama lainnya), seperti juga yang dilakukan oleh pemuda Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 untuk pertama kalinya pemuda Indonesia memproklamasikan kesatuan Indonesia secara kultural dan politik dalam 3 (tiga) konsep : satu tanah air, Indonesia ; satu bangsa, Indonesia ; dan satu bahasa, Indonesia, hal ini merupakan modal sosial (social capital) penting bagi perjalanan sejarah masyarakat Indonesia karena pada peristiwa itu untuk pertama kalinya konsep jati diri (identity) sebagai “bangsa” (nation) dengan konsep Indonesia sebagai simbol pemersatu keragaman masyarakat Indonesia dinyatakan secara tegas, jelas, dan berani. Sumpah Pemuda merupakan tekad generasi muda tersebut pada dasarnya menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan suku, bangsa, ras, agama, dan kebudayaan yang berasal dari berbagai penjuru. Melalui ikrarnya itu, mereka menyatukan derap langkah dan gerak maju menuju kepada kehidupan kebangsaan Indonesia yang berlandaskan pada asas kesatuan dan persatuan.

Suatu bangsa yang menjelma membentuk suatu negara, maka ia dapat memperoleh isi rohani yang lebih tinggi yang semula tidak dipunyainya. Hal ini merupakan isi dari asas kebangsaan dan sekaligus cita-citanya yang terakhir, yang pernah menggemparkan setiap zaman. Suatu bangsa baru akan dianggap sempurna, apabila batas-batasnya sudah sama dengan batas-batas negaranya. Dengan demikian kesadaran berkebangsaan dan sekaligus memiliki kebudayaan yang sama yang merupakan identitasnya. Kesatuan yang utuh dalam segala aspek kehidupan, selalu diusahakan secara terus-menerus. Menurut Rudolf Kjellen dibalik suatu bahasa terdapat suatu kebangsaan. Dengan demikian, bahasa bukan merupakan sebab, tetapi akibat dari kebangsaan, teori ini disebut dengan teori Lebenssehnsucht (nafsu hidup bangsa).

1. Teori Geopolitik

Teori ini bersangkutan dengan Blood and Boden Theorie (Teori Darah dan Tanah) oleh Karl Haushofer yang dianggap sebagai sendi bagi politik imperialisme Jerman, tetapi digunakan pula oleh kaum nasionalis di Asia, khususnya untuk membela cita-cita kemerdekaan, persatuan bangsa, dan tanah air. Geopolitik mendasarkan diri pada faktor-faktor geografis sebagai suatu faktor yang konstan (Rustam E. Tamburaka, 1999 : 86).

II. L LATAR BELAKANG MUNCULNYA KONSEP BANGSA INDONESIA ASLI

Dari berbagai teori tentang bangsa dihubungkan dengan sebelum ada negara Republik Indonesia, kata bangsa sudah digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang sekarang sering disebut kelompok etnis atau suku bangsa. Harsja W. Bachtiar (1987 : 3) juga mencatat bahwa sebelum kita mengacu diri kita sebagai bangsa Indonesia terdapat beraneka-ragam suku bangsa yang biasa dinamakan bangsa, misalnya, bangsa Melayu, bangsa Jawa, bangsa Bugis. Selanjutnya dia mencatat bahwa :

“Masing-masing suku bangsa mempunyai kebudayaan sendiri, yang selain terdiri dari nilai-nilai dan aturan-aturan tertentu juga terdiri dari kepercayaan-kepercayaan tertentu serta pengetahuan tertentu yang diwarisi dari para nenek moyang suku bangsa yang bersangkutan. Masing-masing suku bangsa juga mempunyai bahasa sendiri, struktur masyarakat sendiri, sistem politik sendiri, dan ini yang amat penting, wilayah tempat pemukiman (tanah air) sendiri.”

Kalau batas bahasa dapat dianggap bertumpang tindih dengan batas suku bangsa, maka dapat dibayangkan betapa besar jumlah suku bangsa yang tadinya disebut bangsa (jadi bukan suku bangsa) terdapat di Indonesia ini, karena menurut perkiraan para ahli bahasa dewasa ini ada sekitar 400 bahasa daerah (bukan dialek) di Indonesia (Maurits Simatupang, 2002 : 113).

Untuk melanjutkan pembahasan kita mengenai pengertian bangsa dalam konteks Indonesia, ada baiknya kita menoleh ke belakang ketika paham kebangsaan mulai dibicarakan di kalangan kaum muda terpelajar Indonesia, terutama kelompok terpelajar yang memperoleh pendidikan modern pada permulaan abad ke-20.

Marilah kita perhatikan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 itu. Tidak banyak kita ketahui tentang proses terjadinya Sumpah Pemuda tersebut. Bagaimana para pemuda yang terdiri dari berbagai kelompok etnis itu memutuskan bahwa mereka merupakan satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia, tidak begitu jelas. Risalah rapat-rapat yang diadakan tidak ada; yang ada hanyalah laporan tentang diadakannya pertemuan dan dicetuskannya Sumpah Pemuda tersebut pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara detail laporan peristiwa tanggal 28 Oktober 1928 disampaikan oleh Hans Van Miert dalam bukunya “DENGAN SEMANGAT BERKOBAR, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda Di Indonesia”, 1918-1930, (Hasta Mitra-Pustaka Utan Kayu, 2003 : 498-509).

Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merancang dasar-dasar negara Indonesia yang sekarang kita sebut Pancasila dan UUD 1945 karena kita dapat mengikuti pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam sidang-sidang melalui laporan yang “secara relatif lengkap terdapat dalam buku karangan Prof. Mr. Haji Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945, jilid I penerbitan Yayasan Prapantja, Jakarta” yang kemudian edisi keduanya dicetak ulang oleh Sekretariat Negara tahun 1992. (Maurits Simatupang, 2002 : 113 – 115)

Sangat menarik, misalnya, mengikuti pendapat-pendapat Prof. Dr. Mr. Soepomo dan Mr. Muhammad Yamin, yang keduanya mempunyai latar belakang ilmu hukum yang tentunya telah mengenal dengan baik konsep-konsep bangsa (natie, nation), negara (staat, state), negara-bangsa (nationale-staat, nation-state) dan istilah-istilah politik lainnya yang berhubungan dengan bangsa dan negara. Ketika Soepomo mengutip pendapat Ernest Renan tentang persyaratan suatu bangsa, le desire d’etre ensemble (keinginan untuk bersatu), M. Yamin menganggap bahwa konsep Renan itu sudah kuno (verouderd). Bung Karno ketika gilirannya berbicara juga mengutip pendapat Otto Bauer tentang bangsa yang menurutnya juga sudah kuno : Eine Nation ist eine aus Schiksalsgemein-schaft erwachsene Charaktergemeinschaft. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib.) karena dia menganggap bahwa persyaratan-persyaratan bangsa yang dikemukakan oleh Renan dan Bauer itu kurang lengkap, maka ia lalu menambahkan unsur baru pada kedua konsep Renan dan Bauer itu, yaitu konsep tempat tinggal yang berasal dari ilmu Geopolitik (Teori Geopolitik berasal dari Karl Haushofer, lebih jauh dikembangkan oleh Bung Karno dalam konteks Indonesia), yang menurut Bung Karno belum ada dalam zaman Renan dan Bauer. Menurut Geopolitik yang dikemukakan oleh Bung Karno itu, bumi yang terdapat di antara ujung Sumatera sampai ke Irian itu adalah kesatuan bumi di Indonesia karena atas “ketentuan Allah SWT” didiami oleh 70.000.000 manusia yang mempunyai le desire d’etre ensemble dan Charaktergemeinschaft (Community of character). Selanjutnya, Bung Karno menganjurkan untuk “mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian.” Dalam pandangan Bung Karno, bentuk ideal suatu negara bukanlah negara yang rakyatnya terdiri dari hanya satu kelompok etnis saja (mono-ethnic state) :

“Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya dua kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrokoesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk Kerajaan Bugis, saya berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

Konsep geopolitik seperti dikemukakan Bung Karno ini, yaitu “kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian” kemudian kita kembangkan dalam Wawasan Nusantara yang tercantum dalam GBHN tahun 1978 dan 1983 yang mencakup :

“Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai suatu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan pertahanan dan keamanan.” (Lihat Kohar Hari Sumarno, 1985.)

Sebagai dasar pertama negara Indonesia yang akan dibentuk itu, Bung Karno mengusulkan dasar kebangsaan :

“Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.” (Lihat Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945)

Kita dapat mengerti mengapa Bung Karno (bersama kaum nasionalis lainnya) mengajukan paham kebangsaan ini. Pada permulaan tahun 30-an, telah ada perdebatan di antara kaum pergerakan kemerdekaan tentang dasar negara yang akan didirikan. Ada kelompok yang mempertahankan bahwa hanya faham agama tertentulah yang dapat menjadi dasar kebangsaan Indonesia (Rickless, 1981 : 285).

Kalau kita perhatikan istilah-istilah people, nationality, dan nation (Karl W. Deutsch, 1996 : 17) yang digunakan oleh para ahli di bidang politik di waktu yang lalu di Barat, maka kita melihat bahwa konsep-konsep dan istilah-istilah itu juga dikemukakan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI dan dipakai sebagai landasan berpikir dan mengembangkan lebih lanjut konsep-konsep bernegara dan berbangsa untuk bangsa Indonesia. Marilah kita simak beberapa pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang dikembangkan di Barat itu dan kita bandingkan dengan konsep-konsep dan pengertian-pengertian yang dikemukakan dalam sidang-sidang tersebut. (Maurits Simatupang, 2002 : 115 – 116)

Menurut satu definisi (Karl W. Deutsch, 1966 : 18), dikatakan bahwa “a people is a group of individuals who have some objective characteristics in common. These characteristics usually then are said to include language, territorial residence, traditions, habits, historical memories, and the like. To these are then added....certain subjective elements such as mutual, affection, consciousness of difference from other peoples, or the will to belong to this particular people.”

Nation diartikan sebagai “a people living in a state ‘of its own.’ By this is meant, it seems, that the rulling personnel of this state consists largely of individuals who share the main characteristics of this people, and that the administration of this state is carried on in this people’s language and in line with what are considered to be its characteristic institutions and patterns of custom.”

Tentang pengertian nationality dikatakan bahwa “ a nationality in this widespread usage is, then, a term which may be applied to a people among whom there exists a significant movement toward political, economic, or cultural autonomy, that is to say, toward a political organization, or a market, or an area of literary or cultural interchange within the personnel and the characteristics of this people will pre-dominate.”

Namun (Karl W. Deutsch, 1966 : 18) mengingatkan kita bahwa pengertian-pengertian di atas tidak bebas dari masalah-masalah yang sulit. Beberapa karakteristik objektif yang sering dikemukakan sebagai milik suatu “bangsa” (people) nampaknya tidak merupakan bagian yang esensial dari kesatuan suatu “bangsa”. Mengenai bahasa, misalnya, dikatakan bahwa warga “bangsa” Inggris ada yang berbahasa Inggris atau bahasa Welsh ; warga Kanada, bahasa Inggris atau Perancis ; Afrika Selatan, Inggris atau Afrikaans ; warga Irlandia, Inggris atau Gaelik ; warga Belgia, Vlaam atau Perancis ; dan warga Swiss, bahasa Jerman, Perancis, Italia, dan Roman. Bahasa yang sama bisa digunakan oleh bangsa-bangsa yang berbeda.

Pada masa pembentukkan konstitusi UUD 1945 wadah kelahiran di tempat penyebaran konsep, gagasan, dan ideologi “Bangsa Indonesia Asli” menjadi dasar nasionalisme dan titik awal berkebangsaan konsep “Bangsa Indonesia Asli” untuk mengatasi konsep Hindia Belanda dan Jepang.

Namun kesan diskriminatif konstitusional terhadap kelompok minoritas dalam UUD 1945, sesungguhnya masih ada. Yaitu tercantum pada persyaratan menjadi Presiden, UUD 1945 Pasal 6 (1) menyebut : Presiden ialah orang Indonesia asli.

Tetapi pencantuman kata asli itu juga didasari pertimbangan kedaruratan situasi ketika itu. Demi menutup peluang, agar orang Jepang tidak bisa menjadi Presiden Indonesia ; Badan yang bertugas menyusun undang-undang dasar, Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia– BPUPKI), meski 29 April 1945 sudah terbentuk, tapi baru bisa bersidang 28 Mei 1945 setelah diresmikan Pejabat Pemerintah Pendudukan Militer Jepang, Saiko Sikikan Y. Nagano. Dan pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei, 30 Mei, dan 1 Juni 1945 disampaikan pidato Mr. Muhammad Yamin, DR. Supomo, dan Bung Karno yang berisi rumusan-rumusan mengenai konsep kebangsaan Indonesia (Lihat Muhammad Yamin, NASKAH PERSIAPAN UUD 1945, Jakarta, Yayasan Prapantja, : 87-107, 109-121, dan 61-81), yang dalam perjalanan sejarahnya telah diterima rumusan tentang konsep kebangsaan sebagai ideologi bangsa Indonesia dan menjadi dasar negara kita yakni lima dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Pada awalnya konsep Bangsa Indonesia Asli tertera pada konstitusi UUD 1945 dalam rangka menghadapi kedaruratan situasi ketika itu, sejak Negara Bangsa ini terbentuk, para founding fathers sudah menyadari adanya persoalan yang tidak sederhana ini dan mencari berbagai upaya untuk memecahkanya. Pada masa orde lama antara lain sejarah mencatat Program Benteng 1951 dan PP 10 tahun 1959 yang dimaksudkan untuk memecah persoalan polarisasi sosial Warga Negara asli dan Warga Negara tidak asli (Pri dan Non Pri; fakta sejarah mencatat bahwa kedua kebijaksanaan tersebut terbukti gagal dan efektivitasnya cenderung terbatas. Pada masa tahun 1945 sampai berlakunya dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan masa pengembangan konsep kebangsaan. Dalam kurun waktu itu terjadi usaha-usaha untuk menggantikan konsep kebangsaan itu dengan konsep atau ideologi lain, yaitu munculnya pemberontakan yang bersifat politis ideologis dan separatis.

Kemudian lahir orde baru dengan tujuan untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen ternyata tidak berhasil, yang terjadi justru kebalikannya yakni hukum berperan menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan status quo; Selama orde baru, banyak praktik hukum yang tidak aspiratif dan tidak demokratis, sebaliknya sebagai produk hukum orde baru telah memberangus hak-hak warga negara yang diatur oleh UUD 1945 dan hukum internasional, contoh konkrit sebagai ekspresi yang membawa implikasi praktek politik hukum yang diskriminatif orde baru yaitu berusaha menggarap masalah Warga Negara Indonesia Tionghoa secara serius, mendasar dan mendalam yaitu melalui politik hukum pembuatan produk hukum yang berbentuk resolusi MPRS No. III/RES/MPRS/1966 tentang Pembinaan Kesatuan Bangsa, seterusnya rezim orde baru yang berciri legalistik dalam seluruh kebijaksanaan yang diambilnya selalu didasarkan pada format perundangan seperti TAP MPR, UU, PP, Keppres, dan Instruksi Presiden dalam melaksanakan proses konsep kebangsaan Indonesia. Untuk keperluan legalitas tersebut, maka sejak periode awal, salah satu langkah untuk memecah persoalan etnik Tionghoa pemerintahan orde baru telah mengeluarkan Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 kepada Menteri Kehakiman RI untuk tidak menggunakan penggolongan penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan 163 IS dan Keppres No. 24 tahun 1967 tentang Kebijaksanaan Pokok yang menyangkut Warga Negara Indonesia keturunan asing. Dalam konteks mengupayakan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia dianggap perlu untuk meniadakan semua praktik yang mengarah pada pemilahan atau pengkotak-kotakan golongan penduduk kepada Warga Negara Indonesia Tionghoa dimungkinkan untuk mengganti nama mereka dengan nama-nama Indonesia sebagaimana ditentukan dalam keputusan Presidium Kabinet Nomor


VI. PENUTUP

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia secara yuridis telah mempertegas konsep Bangsa Indonesia Asli, memperkokoh konsep kebangsaan Indonesia yang tidak berdiri sendiri, sejak semula konsep kebangsaan Indonesia memang tidak berdasarkan atas kesamaan ras, etnik (suku bangsa), bahasa, golongan, maupun agama. Konsep Bangsa Indonesia Asli secara konstitusional diakui dalam UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Kewarganegaraan yang tumbuh sebagai jati diri bangsa yang diangkat dari pengalaman bersama di dalam sejarah, rasa senasib dan sepenanggungan yang telah lama tumbuh dari masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural, beragam tetapi tetap menyatu, dalam kesatuan dan persatuan Indonesia.

Konsep kebangsaan Indonesia asli memperoleh acuannya secara ideologis dalam Pancasila dan secara konstitusional dalam UUD 1945 serta secara organik diatur baik Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Itu berarti bahwa semua penyelesaian mengenai konsep Bangsa Indonesia Asli haruslah bertitik tolak dari konsep tentang bangsa yang terkandung dalam Pancasila maupun UUD 1945. Dalam konsep tersebut jelas bahwa pengertian tentang bangsa atau nation Indonesia tidak sama dengan pengertian bangsa dalam arti ras atau etnik, bahasa, golongan, maupun agama, sebagai konsep Bangsa Indonesia Asli tidak didasarkan atas ras, etnik, bahasa tertentu, agama tertentu, kesamaan kepentingan, ataupun batas-batas alamiah yang dapat dilihat pada peta. Dapat dikatakan bahwa persepsi atas konsep Bangsa Indonesia Asli berkembang dengan cara yang berbeda-beda pada setiap periode perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan masalahnya terletak pada problem legitimasi bukan suatu konsep yang sudah seluruhnya jelas. Problem legitimasi tidak semata-mata berdasarkan pada tata tertib, norma hukum dan perundang-undangan yang memenuhi asas legalitas hukum, melainkan juga harus memenuhi asas legitimasi hukum dan iklim sosio kultural yang kondusif di dalam kehidupan hukum masyarakat Indonesia.

Konsep Bangsa Indonesia Asli dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada dasarnya bersifat politis kemasyarakatan yang mengakui pluralitas kebangsaan dan kemajemukan masyarakat Indonesia suatu pilihan terbaik untuk kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Sikap mental dan kejiwaan dari semua pihak yang berbeda-beda untuk menyatu padu dalam ikatan kesatuan kebangsaan adalah landasan pokok paham kebangsaan Indonesia karenanya semua Warga Negara Indonesia keturunan yaitu termasuk Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, Arab, India dan lain-lainnya yang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 diperlakukan secara diskriminatif dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang membedakan Warga Negara Indonesia keturunan tidak boleh lagi terjadi dan wajib dihapus, agar semua warga negara keturunan yang sudah lahir dan/atau status kewarganegaraan orang tuanya tidak jelas, semuanya demi hukum menjadi orang-orang bangsa Indonesia asli.

Dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 pada essensinya mengakui semua Warga Negara Indonesia sama, setara dan setujuan, Warga Negara Indonesia tidak dibeda-bedakan atas dasar warna kulit, ras, suku bangsa/etnik, agama dan kultural karenanya semua warga negara keturunan, siapapun dan dari etnik apapun, apakah keturunan Tionghoa, Arab, India dan lain-lainnya yang lahir di Indonesia semua dianggap orang-orang bangsa Indonesia asli. Mereka adalah warga Negara Indonesia. Sebuah Undang-Undang yang menjunjung tinggi persamaan hak warga negara dan memberikan kemudahan kepada warga negara. diharapkan dalam penerapan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 semua perlakuan diskriminatif segera dihapus dari Bumi Pertiwi.

Ciri fisik maupun nilai-nilai primordial bukan merupakan dasar kesamaan dalam ikatan kebangsaan Indonesia. Dan bangsa Indonesia tidak harus didefinisikan dalam arti Bangsa Indonesia yang Pribumi. Bangsa Indonesia harus bangga akan kekayaan asal usul etnik yang beragam. Perlu ditegaskan bahwa Indonesia merupakan sebuah konsep yang terdiri dari keberagaman etnik, masing-masing etnis mengembangkan sifat komunalisme secara otonom yang hidup berkembang dengan wajar dan alamiah dalam bentuk-bentuknya yang spesifik. Masing-masing etnis kemudian terlibat pola interaksi intensif dan menghasilkan tata pergaulan masyarakat beragam.
Dasar kesamaan yang menyatu padu menjadi satu bangsa justru terletak di dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia bersifat multidimensional, sebab dalam kebhinekaan masyarakat Indonesia yang mempunyai keanekaragaman lingkungan-lingkungan tradisi, kebhinekaan agama, ras, suku bangsa (etnik), bahasa, dan kebudayaan tersebut harus tetap berlangsung bersatu dalam keindonesiaan. Kodrat bangsa Indonesia yang bhineka tidak dapat dielakkan. Dan kebhinekaan masyarakat Indonesia merupakan sebuah kekuatan yang harus didorong menjadi potensi kebersamaan untuk kepentingan bersama membangun bangsa dengan rasa dan wawasan kebangsaan yang tinggi, mengutamakan kepentingan umum (bangsa), bukan kepentingan pribadi serta menghargai kebebasan dan kesamaan derajat bagi setiap anggota masyarakat.